Senin, 01 Juni 2009

Saha nu hayang?!

Malam itu, begi lagi makan mie sedap goreng bareng si pimen. Terus teh, si gilang bilang ”doakeun urang nya, iseng tadi daftar jadi polisi. Padahal urang benci ka polisi teh.” si gilang ujug2 cicing sakedeung. ”eh nteu ketang beg hereuy” katanya mengingat begi anak polisi mereun.

Begi mah nyantai we. Jadi inget, urang oge...kalau ada pendaftaran jadi supir angkot dan kebeneran begi bisa mobil...begi juga mungkin bakal bilang. ”Eh doakeun nya semoga begi lulus jadi supir angkot. Padahal urang geleuh ka supir angkot.” lalu begi akan mengingat si berlin anak supir angkot, ”sori ketang lin...hereuy”

Ah apaaa cobbbaaaa?

Intinya, ada kalanya manusia benci sama sebuah profesi hanya karena pelayanan buruk yang diberikan orang berprofesi anu teh...

Selain supir angkot, begi juga kadang geleuh sama yang punya toko klontong nu badag. Sok jarudes, apalagi kalo belinya sedikit, suka maen alung-alung pulangan. Tau saya juga ga semua kaya gitu, tapi nyeri hate we. Kadang.

Kenapa atuh geleuh sama supir angkot (ga semua loh). Ga semua supir angkot begi benci, dari supir angkot Cicaheum-Cileunyi, begi benci 95,98%-nya lah...haha.

  1. supir anchot suka maen gas-rem seenaknya. Jadi begi suka ajojing gitu di dalem anchot. Masa anchot maen gas rem aja, ngebut dikit, ckiiiit...ga pake hati. Emangnya angchot matic ya maen gas rem waaeee.huh!
  2. mereka yang menyebut dirinya supir angkot, kalo uangnya ga pas, kembaliannya suka kurang. Pernah nih, begi kasih 5000 malah nyelonong aja gitu...padahal kan ongkos benernya 1000-1500an. Dikit sih, bae lah 4000 mah, tapi begi ngalamin ga sekali loh
  3. terus teh yaaah...mereka mah suka nge-oper2 muatan. Baru naek...”neng pindah aja ya ke angkot yang itu!” euhhh....
  4. satu hal the last but not least, mereka meni suka bangggeeeetttt ngetem. Yah tau lah derita mahasiswa semolek dan punya ipe gede kaya aku…paling benci telat nyampe kampus. Telatnya teh bukan gara-gara bangun kesiangan, bukan karena mandinya lama, bukan gara-gara jauh, macet or whatevaaaa...tapi Gara gara NGETEM.

Pernah yahhh, setiap gang ditungguin! Padahal ga ada sapa2 yang naek.

Satu hal yang perlu diingat, begi suka banget tuh lagunya mesin tempur yang Cuma tiga kata liriknya

SUPIR ANGKOT GO****!!!!!!!

Sastra Indie

Akhir2 ini saya lagi excited bgt nih sama yang namanya independent label. Gak itu musik, gak itu film...suka banget! Emang sih, sebagai penikmat yang ngakunya suka banget, saya gak terlalu banyak berkorban untuk berapresiasi. Akses buat sekedar tau aja, saya dapet kalau kebetulan aja denger di radio, nonton di tivi, dan baca-baca di media tulis.

Dulu, dalam benak saya, kalau denger nama indie. Entah itu band, film... kebayangnya keren melulu. Mungkin, gara-gara yang mereka (baca: penggiat indie label) sajikan buat kita selalu baru! Ya! Itulah kerennya independent label, idenya original dan kemasannya fresh, spirit karyanya asik, pembuatannya pasti seru bin riweuh, dan nilai moralnya ‘nendang’ banget deh!

Padahal, setelah berapa lama, baru saya tahu, kalo indie label itu artinya jelas bukan major label. Yah...gitu lah! Pokoknya, walau pada akhirnya niat dagang juga seperti major, tapi idealismenya konsisten berkarya!

Kalo film, beda lagi neh, kadang band2 indie itu juga masih ngandelin sponsor banget. Sedangkan kalo film indie biasanya bener2 dari kita, oleh kita, untuk kita. Karena barangkali, mereka lebih nyari puas akan sukses kecil2an untuk sukses yang lebih gede??? Kan kalo band, kecil2 juga udah lahir definisi sukses (baca: menghasilkan uang).

Jadi, karya apapun yang sekarang lagi kamu bikin, pada akhirnya akan berujung pada sebuah industri, Guys! Nah, kalo kamu yang lagi punya project nulis novel, puisi, memoar, gugatan kek, biografi orang lah...ada bagusnya semua proses dari pengetikan, penyuntingan...ampe percetakan trus dijualin dikerjain sama sendiri. Terutama buat kamu yang hobinya ditolak penerbit (hehe), kan gak jarang tuh ditolak bukan karena karya kamu jelek, tapi karna beda idealismenya. Itu juga toh yang jadi asbab munculnya independent label: Ideologi.

Sekarang, just the way you are aja! Dan cobain bikin yang namanya sastra indie, ngetik di komputer/laptop/rental, ngedit pake gaya yang kita mau, desain cover sendiri, nyetak dengan P.I.D (penyesuaian isi dompet), kertasnya pilihan sendiri, copy-nya mau gimana, trus bisa narsis2an lagih, jangan lupa jualannya lebih kerasa untung Cuy! Karena gak usah bagi2 ama penerbit yang kapitalis itu. Belum lagi kalo kita jualannya pake e-book, bisa seluruh dunia tuch baca karya kamu!

Itu sih cuma salah satu cara meraih cita-cita. Independent! Kalo belum bisa bernaung sama yang lain. Bukankah jadi bos itu lebih enak ketimbang jadi anak buah? Inget nih...Kata Eyang Edison (ciyee), “keberhasilan itu 1% bakat, 99% kerja keras.” So, ngapain ragu? Ini mah lain lagi, John de Rantau bilang “Spirit indie tuh berkarya, bukan result!” Asyik kan? Salam indie! Wallahu a’lam

Tata

This is about somewhere I belong

Mungkin dia berpikir dirinya adalah dewa. Dia memerintah, dia mengganjar, dia memaksa, dia memegang kuasa. Bedanya dengan dewa, dia tidak pernah memberi, kecuali memberi cacian, makian, hinaan.

Lalu di bawahnya ada raja. Di sini dia tidak punya tahta. Di sini dia hanya punya kuasa. Meski di atasnya ada dewa, dialah pemegang fatwa. Terkadang dewa ada dalam kendalinya.

Lebih rendah lagi, di sanalah sosok seorang manusia. Setinggi-tingginya manusia, ia tak berfatwa, tak berwewenang, namun dia tak pernah segan menginjak yang di bawahnya. Memerintah dengan sok dan sombong. Maklumlah manusia, raja bahkan dewa sama-sama memiliki mahkota.

Kami berada di zona paling hina. Binatang. Dengan mudahnya manusia dan raja memegang kendali dewa untuk menjadikan binatang budak sekaligus boneka. Manusia dan raja berlaga tak butuh binatang, tapi mereka mengganjar dengan ganas binatang-binatang yang tak menurut. Binatang harus siap tempur selalu, dalam keadaan apapun. Demi mendapatkan sebuah mahkota yang mengubah titelnya menjadi manusia, kemudian hari.

Tapi ketahuilah, aku sangat merindukan

Pertemanan tanpa penekanan

Persaudaraan tanpa penindasan

Realita tanpa skenario

Kita berdiri sama tinggi

Duduk sama rendah

Tak ada yang berpikir dirinya dewa atau raja

Senin, 25 Mei 2009

uuummh

sampai kpan hrs menyiksa diri sperti ini?
dsimpan dlm-dlm
sakit, dia ga pernah tau
dibuka...
ga berani melihat yang selanjutnya terjadi
sementara itu
dia kadang sangat peduli
kadang sangat tak peduli
maafkan aku ya, Ai
beg sayang kamu

Selasa, 19 Mei 2009

Poligami Kuliah dan Organisasi; Kunci Utama Agen Perubahan

Masih segar dalam ingatan penulis, tahun 2007 lalu ketika masih menjadi anak baru yang mengikuti kuliah Taaruf. Ketika itu, sering penulis dengar entah itu orasi-orasi, materi seminar, slogan-slogan organisasi semua rata menyampaikan bahwa ”Mahasiswa itu the agent of change.”[i] Lain redaksi menyerukan ”Mahasiswa takut Dosen! Dosen takut Rektor! Rektor takut Menteri! Menteri takut Presiden! Presiden takut Mahasiswa!”, dan seruan-seruan lainnya yang menggetarkan jiwa seorang mahasiswa baru seperti penulis ini.

Kemudian, waktu terus berjalan hingga kami para mahasiswa merasakan betul bagaimana menjadi mahasiswa yang disebut-sebut agent of change (agen perubahan sosial). Rutinitas kuliah yang agak mulai melelahkan dan membosankan membuat bibit-bibit agen perubahan sosial ini lebih suka ’nongkrong’, main, dan pola hidupnya sangat monoton. Kampus-Kosan-Kantin-Kampung. Begitu tiap semesternya. Lalu di mana letak pergerakan seorang agen perubahan sosial? Apakah karena reformasi sudah berhenti didengung-dengungkan lantas mahasiswa terlena, tertidur dan hanya memikirkan kerja apa setelah lulus nanti?

Namun, nampaknya bukan itu yang diharapkan masyarakat di luar kampus sana (tepatnya di sekitar kita). Mahasiswa sesuai dengan nama ke-maha-annya, mempunyai legitimasi khusus di mata masyarakat sebagai orang berpendidikan, memiliki wawasan lebih luas daripada mereka, dan mempunyai pola hubungan pergaulan yang baik dan mengacu pada kemajuan.

Mungkin anggapan itu tidak berlebihan. Mahasiswa dapat merasakan bagaimana kondisi kampus tempatnya berkuliah memiliki atmosfer multikultural yang sangat tinggi. Atmosfer majemuk tersebut membenturkan pada kebiasaan beda pendapat, lintas mazhab bahkan ideologi politik. Itulah mengapa mahasiswa terkesan anti-sentralisasi dan uniformalitas[ii], sehingga mampu menggulingkan tahta Orde Baru tahun 1998 silam. Atmosfer belajar mengajar di kampus pulalah yang membina insan yang kritis, contohnya pada masa kejayaan Soekarno. Mahasiswa juga yang menggulingkan tahta Orde Lama tahun 60-an karena dikritisi sangat menyimpang dari UUD 1945[iii] dan asas politik Republik Indonesia.

Lantas apakah agen perubahan sosial itu hanya milik seorang dan hanya ada di masa lalu? Apakah mampu bergerak sendirian? Faktanya, pada era ini mahasiswa yang peduli pada politik pergerakan kampus posisinya termarjinalkan, dinilai tidak gaul, karena lebih memiliki pandangan terlalu serius pada hidup. Padahal organisasi merupakan wadah yang mampu menjadi lab saat mahasiswa nantinya terjun ke masyarakat yang lebih luas.

Organisasi melatih mahasiswa agar mampu mendengarkan pendapat masyarakat, mengkritisi kebijakan pemimpin, sampai kepada taraf membuat keputusan. Khususnya organisasi kemahasiswaan, lebih banyak menerjunkan kita pada khalayak daripada kampus yang hanya menerjunkan pada khalayak sewaktu Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal ini juga merupakan ajang regenerasi, kaderisasi, pembeliaan, kepemimpinan dan eksperimentasi minat dan bakat.

Anggapan bahwa organisasi kampus termarjinalkan juga patut disadari, barangkali pola komunikasinya kurang begitu merakyat. Yang diperjuangkan kini dengan dulu bergeser kepentingan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sibuk memikirkan UKM-UKM-nya, Organisasi Daerah mementingkan kesejahteraan mahasiswa di daerahnya, Senat tentunya lebih konsern dengan jurusan-jurusan yang dinaungi fakultasnya. Dampaknya, pergerakan organisasi justru sibuk mengurusi isu lokal internal. Sehingga isu-isu nasional apalagi internasional mulai terabaikan.

Director of Change
Tidak ada salahnya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berdiri membela lintas kepentingan seperti ini. Semuanya merupakan media pembelajaran yang mana organisasi adalah wadah pemersatu gerakan mencapai tujuan bersama. Namun, bila kasusnya lagi-lagi sibuk dengan isu lokal organisasi, skoci-skoci organisasi haruslah memiliki sistem komunikasi internal dan eksternal. Yang mampu mengusahakan tercapainya aspirasi dalam maupun luar organisasi.

Selain itu, dalam menghadapi dinamika organisasi, mahasiswa harus memiliki manuver-manuver yang tetap pada koridor misi agen perubahan sosial. Penulis berpendapat dua saja pokok yang harus dipunyai sang agen perubahan sosial,di antaranya:
Pertama, potensi ilmiah-akademis.
[1] Bukan berarti, dengan aktifnya mahasiswa di organisasi kampus lalu terbengkalai kuliahnya. Tugas-tugasnya terabaikan demi misi agen perubahan sosial! Tapi, sang pemimpin perubahan harus mempunyai daya pikir yang intelek, cerdas, berbobot dan konsepsi. Standar IP-nya harus baik, track record pendidikan non-formalnya tidak kalah penting untuk diperhitungkan, forum-forum ilmiah yang diikutinya juga mampu mengasah manuver sang agen perubahan sosial di bidang akademis ini.

Mahasiswa yang memilih aktif pada sebuah organisasi kemahasiswaan, berati telah mempunyai tujuan sejak awal yaitu mengembangkan potensi, minat dan bakat. Organisasi akan memformulasikan hal-hal tersebut pada kemampuan ilmiah spesialisasi diri.

Kedua, sosial-intelektual.Kemampuan kedua ini adalah keterampilan mahasiswa dalam berinteraksi dengan masyarakat dengan alami dan tulus. Sehingga mampu mewakilkan suara ’kecil’ mereka yang nyaris tak terdengar. Mahasiswa harus mampu mengerahkan dirinya menjadi penggerak situasi sosial menuju arah perubahan.

Sehingga, mahasiswa yang barangkali sudah canggung dengan kata ’agent of change’ yang disandangkan kepadanya, kini menyadari dirinya mampu lebih dari itu. Dengan kemampuan ilmiah, akademis, sosial dan intelektualnya kita mampu menjadi ’director of change’. Yang mengerahkan masyarakat pada keadaan yang jauh lebih baik dari pada hari ini.

Hasilnya, rutinitas bersama dinamika organisasi kemahasiswaan menjadi lebih berarti, bukan lagi pola Kampus-Kantin-Kosan-Kampung. Tetapi juga Kampus-Kantin-Kosan-Kampung-Khalayak. Karena, fungsi mahasiswa dan organisasinya di masyarakat salah satunya adalah menjadi harmonisator.

[1]
NET.

[i] Disampaikan juga pada sambutan Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. DR. H. Nanat Fatah Natsir M.S

[ii] Pemusatan kebijakan dan penyeragaman

[iii] Musa Asy’rie, “Bung Karno, Pancasila dan Revolusi belum Selesai”, dalam Kompas, 31 Mei 2003.

Dinamika Komunikasi dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia

Indonesia selama tiga dekade terakhir mencatat berbagai kemajuan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dengan adanya indikasi membaiknya berbagai indikator SDM sejak 1960 hingga 1999. Namun, berbagai indikator SDM Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya.
Berbagai perbaikan indikator SDM dari 1960 hingga 1999, antara lain ditunjukkan dengan usia harapan hidup rata-rata meningkat dari 41,0 tahun menjadi 66,2 tahun.
Selain itu, juga angka kematian bayi turun dari 159 menjadi 48 per 1.000 kelahiran hidup, serta angka buta huruf dewasa turun, menurun dari 61% menjadi 12%.Hal ini terlihat antara lain dari rendahnya peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah, dan pengeluaran per kapita.
SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta. Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dunia. Pada tahun 2000 dengan jumlah penduduk 203,5 juta, Indonesia merupakan nomor empat terbesar di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat.
Letaknya cukup strategis karena terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Di atas Indonesia ada ruang angkasa yang juga strategis sifatnya untuk penempatan satelit bagi komunikasi modern. Sumber daya alamnya melimpah; lautnya penuh ikan. Perut buminya diisi dengan minyak, emas, dan bahan bahan mineral lainnya. Tanah pertaniannya luas dan sebagian merupakan tanah tersubur di dunia. Hutannya merupakan paru paru dunia yang amat penting.
Penduduknya sebagian besar beragama Islam yang potensial memiliki api dan semangat kemajuan yang menggelora dan yang merupakan suatu agama yang menjadi pendukung puncak civilisasi umat manusia selama ratusan tahun lamanya di masa silam. Singkatnya Indonesia berpotensi menjadi suatu kekuatan utama dunia. Tetapi dengan sangat sedih dapat dikemukakan bahwa Indonesia pada saat ini jauh dari posisi yang seharusnya ditempati sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar.

Kontribusi Komunikasi
Di Indonesia, komunikasi mengalami pasang surut. Perubahan fungsi komunikasi lebih terekspos semenjak masa Orde Baru hingga reformasi tahun 1998. Di masa Orde Baru, media-massa sebagai salah satu sarana komunikasi banyak mendapat dikte dari penguasa untuk mengendalikan konflik sosial yang kerap terjadi melalui berita-berita. Pers lebih banyak mengungkapkan realitas psikologis atau pendapat daripada fakta di lapangan. Fakta-fakta tersebut banyak disembunyikan agar pers tidak mendapat teguran dari penguas. Jadi tidak salah bila orang-orang menganggap pers saat itu hanya merupakan alat pengusa. Fungsi-fungsi komunikasi yang seharusnya tidak dapat berjalan. Sekali media melakukan sebuah tindakan yang tak sesuai kehendak pemerintah terpaksa dibredel, seperti yang dialami harian TEMPO kala itu.
Memasuki masa transisi demokrasi atau lebih tepatnya reformasi, keterbukaan menyampaikan pendapat mendapat dukungan dari semua pihak. Pers seakan bebas dari ikatan yang selama bertahun-tahun membelenggu mereka. Pers memenfaatkan fungsi kontrol mereka untuk menyerang balik pemerintah, membuka semua kebobrokan pemerintah yang lalu. Hal tersebut membawa dampak positif, namun juga tidak dapat dihindarkan dari dampak negatifnya. Memang reformasi membuka kesempatan pers sebagai kontrol pemerintah, Namun kecenderungan negatif muncul ketika pers berpihak kepada kelompok tertntu, memanaskan situasi yang terjadi, menonjolkan unsur kekerasan di beberapa pemberitaan di media massa. Sehingga terkadang menimbulkan konflik yang lebih serius.
Perkembangan komunikasi di Indonesia mendorong semakin banyak kebutuhan akan informasi. Dulu, stasiun TV di Indonesia hanya dapat dihitung dengan lima jari, sekarang menjamur bermacam stasiun TV swasta baik nasional maupun lokal di daerah-daerah. Fungsinyapun kini meluas dengan adanya penyiaran yang bervariasi. Masyarakat lebih terbuka terhadap pemerintah dengan adanya dialog-dialog interaktif. Lalu bagaimana fungsi komunikasi terhadap pembangunan? Fungsi komunikasi dengan komunikatornya memberi kontribusi terhadap pembangunan nasional karena secara umum mengubah sikap dan perilaku manusia Indonesia sebagai peran pembangunan.
Fungsi pers pada dasarnya adalah: to inform, to educate, to entertain, dan to influence. Keempat fungsi tersebut sejalan dengan fungsi-fungsi komunikasi. Komunikasi sendiri memiliki fungsi yang berbeda sesuai konteks komunikasi, yaitu: Komunikasi sosial, digunakan untuk pernyataan konsep, eksistensi diri, dan memperoleh rasa kebahagiaan. Komunikasi ekspresif, digunakan untuk menyalurkan emosi dan pendapat. Komunikasi ritual, biasanya digunakan secara kolektif seperti ritual keagamaan. Sedangkan komunikasi instrumental, memiliki tujuan-tujuan tertentu mengacu pada fungsi-fungsi pers di atas. Fungsi utama komunikasi sebenarnya adalah untuk ‘membujuk’. Sebagaimana yang dikatakan Carl I Hovland dalam bukunya Personality and Persuabilities menyebutkan bahwa efek persuasi bersumber kepada perubahan sikap, pendapat, persepsi, serta efek itu sendiri. Namun mudah atau tidaknya seseorang terpengaruh tergantung pula kepada apa yang ada dalam individu itu sendiri.
Euforia kebebasan pers di Indonesia berlangsung begitu cepat. Semua orang menginginkan hukum ditegakkan dan mengubah seluruh sendi-sendi kemasyarakatan yang dilanggar ketika Orde Baru berkuasa. Hanya berselang beberapa tahun saja, semangat itu meluntur tanpa menghasilkan perbaikan yang diinginkan. Apakah ini sebuah tanda bahwa rakyat telah bosan dan lelah terus memperjuangkan tujuan negara yang sering mereka gelorakan di masa reformasi?
Pers yang dulu pernah bercita-cita mengubah bangsa dengan kode etiknya ternyata malah mengeksploitasi kebebassan pers sebagai senjata. Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia tertulis:
“ Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas kejahatan susila”
pada butir lain juga disebutkan:
“ Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”
Namun bila melihat kenyataan saat ini, begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oknum pers. Mulai dari penyebaran berita yang belum pasti kebenarannya (sering disebut gossip) hingga perluasan pengaruh melalui media massa. Pada akhirnya sulit untuk menyatakan suatu berita benar-benar fakta yang bersifat objektif atau hanya berdasarkan subyektivitas dan kepoentingan penulis berita. Wriston (1996:1)
“ Revolusi informasi sedang mengubah bentuk dan arah peristiwa-peristiwa nasional dan internasional secara mendasar.”
Revolusi informasi adalah ancaman bagi struktur kekuasaan dunia. Artinya siapa yang menguasai informasi bukan tidak mungkin ia akan menguasai dunia dengan pengaruh yang dapat ditimbulkannya melalui proses komunikasi. Bila kita tidak mengikuti arah perubahan maka kita akan semakin tenggelam hingga tak mampu lagi menahan pengaruh dari dunia luar.
Fungsi komunikasi akan terus berkembang selama ilmu komunikasi itu ada. Dan komunikasi akan terus ada selama manusia masih ada seperti hubungan yang telah disebutkan di awal penulisan. Apalagi sekarang perubahan terjadi begitu cepat dan lagi-lagi karena dampak globalisasi. Agar tidak terpengaruh aspek negatif globalisasi, apa yang dapat kita lakukan?
Kembali memahami fungsi komunikasi merupakan salah satu solusi yang tepat. Karena dengan kita memahami apa fungsi komunikasi, kita dapat menentukan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap tantangan dalam proses bernegara, mengetahui dampak negatif, dan menghindarkannya dari tujuan berkomunikasi. Dengan memahami fungsi komunikasi, kita juga dapat mengembalikan peran komunikasi sebenarnya, sehingga segala sesuatu yang menghambat proses komunikasi dapat dihilangkan.
Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana.Akibatnya selera masyarakat dunia --baik yang berdomisili di kota maupun di desa-- menuju pada selera global.




Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik B
Smester IV
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Yang aktif di berbagai organisasi Kemahasiswaan

Jumat, 15 Mei 2009

selamat siank dunia

senang,,,akhirnya pnya blog juga
smoga begi bisa mewujudkan cita2 begi jadi penulis, mahasiswa, propagandis, pecinta alam dan jadi soe hok(beg)Gie
hahaha