Selasa, 19 Mei 2009

Poligami Kuliah dan Organisasi; Kunci Utama Agen Perubahan

Masih segar dalam ingatan penulis, tahun 2007 lalu ketika masih menjadi anak baru yang mengikuti kuliah Taaruf. Ketika itu, sering penulis dengar entah itu orasi-orasi, materi seminar, slogan-slogan organisasi semua rata menyampaikan bahwa ”Mahasiswa itu the agent of change.”[i] Lain redaksi menyerukan ”Mahasiswa takut Dosen! Dosen takut Rektor! Rektor takut Menteri! Menteri takut Presiden! Presiden takut Mahasiswa!”, dan seruan-seruan lainnya yang menggetarkan jiwa seorang mahasiswa baru seperti penulis ini.

Kemudian, waktu terus berjalan hingga kami para mahasiswa merasakan betul bagaimana menjadi mahasiswa yang disebut-sebut agent of change (agen perubahan sosial). Rutinitas kuliah yang agak mulai melelahkan dan membosankan membuat bibit-bibit agen perubahan sosial ini lebih suka ’nongkrong’, main, dan pola hidupnya sangat monoton. Kampus-Kosan-Kantin-Kampung. Begitu tiap semesternya. Lalu di mana letak pergerakan seorang agen perubahan sosial? Apakah karena reformasi sudah berhenti didengung-dengungkan lantas mahasiswa terlena, tertidur dan hanya memikirkan kerja apa setelah lulus nanti?

Namun, nampaknya bukan itu yang diharapkan masyarakat di luar kampus sana (tepatnya di sekitar kita). Mahasiswa sesuai dengan nama ke-maha-annya, mempunyai legitimasi khusus di mata masyarakat sebagai orang berpendidikan, memiliki wawasan lebih luas daripada mereka, dan mempunyai pola hubungan pergaulan yang baik dan mengacu pada kemajuan.

Mungkin anggapan itu tidak berlebihan. Mahasiswa dapat merasakan bagaimana kondisi kampus tempatnya berkuliah memiliki atmosfer multikultural yang sangat tinggi. Atmosfer majemuk tersebut membenturkan pada kebiasaan beda pendapat, lintas mazhab bahkan ideologi politik. Itulah mengapa mahasiswa terkesan anti-sentralisasi dan uniformalitas[ii], sehingga mampu menggulingkan tahta Orde Baru tahun 1998 silam. Atmosfer belajar mengajar di kampus pulalah yang membina insan yang kritis, contohnya pada masa kejayaan Soekarno. Mahasiswa juga yang menggulingkan tahta Orde Lama tahun 60-an karena dikritisi sangat menyimpang dari UUD 1945[iii] dan asas politik Republik Indonesia.

Lantas apakah agen perubahan sosial itu hanya milik seorang dan hanya ada di masa lalu? Apakah mampu bergerak sendirian? Faktanya, pada era ini mahasiswa yang peduli pada politik pergerakan kampus posisinya termarjinalkan, dinilai tidak gaul, karena lebih memiliki pandangan terlalu serius pada hidup. Padahal organisasi merupakan wadah yang mampu menjadi lab saat mahasiswa nantinya terjun ke masyarakat yang lebih luas.

Organisasi melatih mahasiswa agar mampu mendengarkan pendapat masyarakat, mengkritisi kebijakan pemimpin, sampai kepada taraf membuat keputusan. Khususnya organisasi kemahasiswaan, lebih banyak menerjunkan kita pada khalayak daripada kampus yang hanya menerjunkan pada khalayak sewaktu Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal ini juga merupakan ajang regenerasi, kaderisasi, pembeliaan, kepemimpinan dan eksperimentasi minat dan bakat.

Anggapan bahwa organisasi kampus termarjinalkan juga patut disadari, barangkali pola komunikasinya kurang begitu merakyat. Yang diperjuangkan kini dengan dulu bergeser kepentingan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sibuk memikirkan UKM-UKM-nya, Organisasi Daerah mementingkan kesejahteraan mahasiswa di daerahnya, Senat tentunya lebih konsern dengan jurusan-jurusan yang dinaungi fakultasnya. Dampaknya, pergerakan organisasi justru sibuk mengurusi isu lokal internal. Sehingga isu-isu nasional apalagi internasional mulai terabaikan.

Director of Change
Tidak ada salahnya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berdiri membela lintas kepentingan seperti ini. Semuanya merupakan media pembelajaran yang mana organisasi adalah wadah pemersatu gerakan mencapai tujuan bersama. Namun, bila kasusnya lagi-lagi sibuk dengan isu lokal organisasi, skoci-skoci organisasi haruslah memiliki sistem komunikasi internal dan eksternal. Yang mampu mengusahakan tercapainya aspirasi dalam maupun luar organisasi.

Selain itu, dalam menghadapi dinamika organisasi, mahasiswa harus memiliki manuver-manuver yang tetap pada koridor misi agen perubahan sosial. Penulis berpendapat dua saja pokok yang harus dipunyai sang agen perubahan sosial,di antaranya:
Pertama, potensi ilmiah-akademis.
[1] Bukan berarti, dengan aktifnya mahasiswa di organisasi kampus lalu terbengkalai kuliahnya. Tugas-tugasnya terabaikan demi misi agen perubahan sosial! Tapi, sang pemimpin perubahan harus mempunyai daya pikir yang intelek, cerdas, berbobot dan konsepsi. Standar IP-nya harus baik, track record pendidikan non-formalnya tidak kalah penting untuk diperhitungkan, forum-forum ilmiah yang diikutinya juga mampu mengasah manuver sang agen perubahan sosial di bidang akademis ini.

Mahasiswa yang memilih aktif pada sebuah organisasi kemahasiswaan, berati telah mempunyai tujuan sejak awal yaitu mengembangkan potensi, minat dan bakat. Organisasi akan memformulasikan hal-hal tersebut pada kemampuan ilmiah spesialisasi diri.

Kedua, sosial-intelektual.Kemampuan kedua ini adalah keterampilan mahasiswa dalam berinteraksi dengan masyarakat dengan alami dan tulus. Sehingga mampu mewakilkan suara ’kecil’ mereka yang nyaris tak terdengar. Mahasiswa harus mampu mengerahkan dirinya menjadi penggerak situasi sosial menuju arah perubahan.

Sehingga, mahasiswa yang barangkali sudah canggung dengan kata ’agent of change’ yang disandangkan kepadanya, kini menyadari dirinya mampu lebih dari itu. Dengan kemampuan ilmiah, akademis, sosial dan intelektualnya kita mampu menjadi ’director of change’. Yang mengerahkan masyarakat pada keadaan yang jauh lebih baik dari pada hari ini.

Hasilnya, rutinitas bersama dinamika organisasi kemahasiswaan menjadi lebih berarti, bukan lagi pola Kampus-Kantin-Kosan-Kampung. Tetapi juga Kampus-Kantin-Kosan-Kampung-Khalayak. Karena, fungsi mahasiswa dan organisasinya di masyarakat salah satunya adalah menjadi harmonisator.

[1]
NET.

[i] Disampaikan juga pada sambutan Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. DR. H. Nanat Fatah Natsir M.S

[ii] Pemusatan kebijakan dan penyeragaman

[iii] Musa Asy’rie, “Bung Karno, Pancasila dan Revolusi belum Selesai”, dalam Kompas, 31 Mei 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar